YORI ANTAR
KEBANGKITAN ARSITEKTUR NUSANTARA
Yori Antar: Perjuangan
untuk Nusantara
/
(oleh Yusni Aziz)
Siapapun yang pernah mengunjungi kantor Han Awal & Partners pasti
terhenyak saat datang pertama kali. Selamat tinggal suasana kantor yang
tipikal, karena apa yang ada lebih mirip sebuah rumah peristirahatan dengan
kolam renang dan area untuk bersantai. Bahkan saat datang kesini, David
Gianotten dari OMA pun berujar, “We should have an office like this!”
Bangunan yang sama juga menjadi markas Rumah Asuh, yayasan pertama di
Indonesia yang bergerak dalam preservasi arsitektur nusantara. Sore itu, saya,
mewakili RUANG, datang untuk berdiskusi dengan Yori Antar mengenai pergerakan
tersebut. Sebuah langkah baru dan berani untuk dunia arsitektur Indonesia.
Bagaimana sebetulnya Rumah Asuh (RA) didirikan?
Saya sering melakukan perjalanan, baik di dalam maupun di luar negeri,
untuk melihat obyek-obyek arsitektur. Dari arsitektur modern, seperti Le
Corbusier atau Mies van de Rohe, hingga arsitektur tradisional yang dibangun
masyarakat setempat. Setelahnya, saya refleksikan terhadap keadaan Indonesia.
Seringkali saya menemukan fakta-fakta baru.
Salah satu perjalanan yang terpenting adalah ketika ke negeri Tibet. Kami
mengunjungi 3 wilayah Tibet: Tibet Cina, Tibet Nepal, dan Tibet India. Pada
tahun 2003, perjalanan kami menghasilkan buku berjudul Tibet di Otak.
Iseng-iseng kami meminta kata sambutan dari Dalai Lama, mengejutkannya ia
membalas kurang dari 2 minggu. Tulisannya menggerakan saya untuk lebih
mengetahui negeri sendiri.
Apa yang sangat berkesan dari kata sambutannya ?
Saat kami di Tibet Cina, Dalai Lama sudah terusir ke India. Kami katakan
bahwa kami mendapat banyak pengalaman yang luar biasa di negeri Tibet. Tidak
banyak orang Indonesia yang mengenal negeri anda, karenanya kami ingin
menuliskannya dari kacamata orang Indonesia.
Dia membalas, walaupun bangsa Indonesia tidak mengenal negeri Tibet.
Sebaliknya, sejak berdirinya negeri Tibet sampai sekarang kami selalu mengenal
Indonesia. Guru besar kami seorang India bernama Atisa Dipamkara. Ia berguru
selama 11 tahun kepada seorang Lama – pemimpin tinggi Budha – bernama
Serlingpa. Lama itu berasal dari Golden Islands, atau tepatnya Sumatra. Di sana
dia dikenal sebagai Dharmakirti. Hal itu menjadi pelajaran wajib
murid-murid Budha Tibet. Sedangkan, orang Indonesia sendiri engga tahu
Dharmakirti dan peninggalannya.
Perjalanan penting lainnya ketika kami ke Kamboja untuk melihat Angkor Wat,
yang ternyata sangat mirip dengan Prambanan dan Borobudur. Ternyata dinasti
Jayawarman I, yang memimpin pada masa itu, berasal dari dinasti Syailendra yang
juga membangun Borobudur. Angkot Wat adalah kerajaan yang didirikan oleh dinasti
Syailendra dalam pelariannya ke Kamboja.
Indonesia telah menginspirasi sekelilingnya di masa itu, namun orang
Indonesia kurang mengenal negeri sendiri. Buku-buku yang menceritakan sejarah
Indonesia malah ditulis oleh orang asing. Bahkan, masak candi Borobudur yang
menemukan Raffles? Kan Aneh? Udah ada dari dulu, kenapa dia yang nemuin!
Pengetahuan sejarah yang blank, membuat kita amnesia sejarah.
Dari sana, saya ingin lebih mengenal Indonesia, karenanya kami melakukan
perjalanan rutin keliling Nusantara. Sejak 2003, kami sudah mengunjungi Nias,
Toraja, serta desa-desa adat yang sulit dijangkau. Pada tahun 2008, kami
bertandang ke NTT, tepatnya wilayah Flores dan Sumba. Dua perjalanan itu sangat
penting untuk kelahiran RA.
Di Sumba, kami bertemu seorang rohaniwan, fotografer, dan pecinta budaya
Sumba bernama Pastor Robert Ramone. Kelak dia akan menjadi motor pembangunan
program-program RA di Sumba, di Katenggaro, Waenyabo, dan Baetabula.
Apa bapak Robert adalah orang asli Sumba?
Iya. Hidupnya juga diserahkan untuk melestarikan budaya Sumba. Bersama pak
Robert, RA melakukan pembangunan rumah-rumah dan desa adat yang terus berjalan
hingga sekarang.
Lain halnya dengan Flores, kami menemukan Wae Rebo. Awalnya, kami tidak
mengetahui lokasi Wae Rebo. Satu-satunya informasi yang kami miliki adalah
bangunannya, yang bisa memuat 100 orang, terancam punah. Tanpa arah yang jelas,
kami mencari ke Manggarai. Setelah dua hari tanpa hasil, kami memutuskan untuk
menghentikan pencarian.
Dalam perjalanan pulang, kami mampir di sebuah rumah makan yang ramai
dengan orang asing. Kami terkejut oleh foto Wae Rebo di dindingnya. Namun,
pemiliknya tidak tahu, hanya menunjuk rombongan turis yang akan menuju
Wae Rebo dan menyarankan seorang supir yang bisa mengantar. Kamipun membuat janji
dengannya untuk berangkat ke Wae Rebo jam 10 malam. Namun, ia tidak datang, dan
digantikan oleh temannya. Sayangnya ia juga hanya mengerti bahasa Manggarai.
Kami pasrah, dan tetap berangkat.
Dari Ruteng, kami bermobil dari jam 12 malam hingga 5 pagi, namun belum
terlihat tanda-tanda Wae Rebo. Setengah 6 pagi kami sampai di sebuah desa
bernama Denge, yang merupakan perhentian terakhir ke Wae Rebo.
Kami bertemu dengan seorang guru bernama Blasius Monta. Ia kaget dengan
kehadiran kami. “Mau ke Wae Rebo? Deket, tinggal jalan kaki. Tapi makan dulu,
jalannya agak berat.” Kami ber-15 dikasih makan mi instan dan nasi. Setelahnya,
pak Blas memanggil dua orang guide untuk membimbing kami.
Kami berjalan tanpa jalan setapak dan menyeberangi sungai setinggi
pinggang. Setelah 3 jam masih belum sampai, saya semakin deg-degan. Dua kali
saya ingin kembali karena tidak ada kejelasan. Perjalanan semakin berat. Kami
tidak lagi berjalan dengan kaki; merayap bahkan pakai pantat, bermodal nekat.
Setelah berjalan lima jam, pada jam 3 sore, kabut tiba-tiba terbuka.
Terlihatlah siluet empat rumah bundar. Kami berteriak senang, bertepuk tangan.
Sementara Wae Rebo membalas dengan gonggongan anjing.
Rupanya masyarakat sadar dengan kedatangan kami dan keluar rumah. Dua pihak
yang sama-sama asing bertemu. Buat saya, itu adalah pertemuan bersejarah. Kami
adalah orang Indonesia pertama yang masuk ke Wae Rebo! Kami menemukan desa yang
nyaris punah.
Berdasarkan data pak Blasius, ada ratusan turis tapi tidak satupun orang
Indonesia. Saat itu, ada 8 mahasiswa dari Taiwan yang sudah seminggu menginap,
dan 2 antropolog dari Amerika yang perempuannya sudah menetap selama 1,5 tahun.
Desa ini seperti jendela dunia. Di tempat itu kami menemukan berbagai bangsa.
Orang Wae Rebo menganggap orang dari Jakarta adalah orang tua mereka. Saya
katakan bahwa saya datang dari Jakarta yang justru tidak punya akar. Saya
datang untuk belajar dari akar arsitektur Indonesia.
Kemudian sampai kapan kita hanya jadi penonton, padahal banyak potensi dari
arsitektur nusantara. Anggaplah kita seorang dokter, ada pasien yang sakit,
kita hanya melihat, merekam, dan memfoto penyakitnya, tapi jika tidak berusaha
menyembuhkan, sama saja kita melakukan dosa profesi. Jadi, jangan
menunggu siapa-siapa lagi, ini tugas kita!
Kami mengenal seseorang dari Wae Rebo bernama pak Martin. Ia pernah
bercita-cita menjadi pastur di Filipina, tetapi tidak jadi. Namun, positifnya
dia belajar bahasa Inggris. Pak Martin menjadi juru bicara Wae Rebo yang
membawa keluar-masuk turis asing. Seperti duta besar. Dan yang paling penting,
kami bertemu pak Frans, kepala tukang yang pernah memperbaiki Wae Rebo. Saya
undang pak Blasius, pak Martin, dan pak Frans ke Jakarta.
Dahulu ada tujuh rumah, sekarang tinggal empat, kata mereka. Saya
bertanya, “Kalau misalnya dicarikan dana, mau engga kalian bangun lagi?” Mereka
bilang, “Oh, itu engga pernah kita pikirkan pak. Buat kami, memperbaiki saja
udah lebih dari cukup. Kami miskin, engga bisa mengambil kayu dari hutan karena
hutan itu sudah termasuk kawasan hutan lindung.”
Jadi, karena desa tersebut termasuk kawasan hutan lindung yang tidak boleh
ada manusia di dalamnya. Pernah desa itu disuruh pindah. Mereka bingung, lah
mereka sudah ada sebelum Indonesia merdeka kenapa disuruh pindah? Akhirnya
mereka harus beli kayu-kayu di pasar, dan harganya mahal sekali. Padahal
kayunya juga dari hutan mereka.
Itu ternyata juga permasalahan utama rumah adat dimana-mana!
Dari situ saya pertemukan mereka dengan ibu Tirto, dari Aqua, yang saya ajak
menjadi donatur. Awalnya, ibu Tirto masih belum tertarik, namun, ketika bertemu
dan melihat kejujuran mereka. Ia pun terketuk dan berjanji membantu. Kami
membuat program pembangunan satu rumah di Denge. Semacam perpustakaan dan
museum kecil, tempat dokumentasi pembangunan itu.
Kemudian di Wae Rebo, pembangunan dimulai. Menariknya, saat membangun, satu
rumah yang sudah agak rusak dipretelin untuk dipelajari dan diperbaiki. Setelah
paham, mereka dapat membangun kembali dengan cara mereka sendiri. Dari situ
saya mendapatkan formula!
Pertama, cara mempelajarinya adalah dengan membiarkan mereka membangun
dengan cara mereka seasli-aslinya, karena itu rumah adat bukan rumah modern.
Saya juga melihat luar biasanya upacara, budaya, kehidupan sosialnya sebagai
sebuah kegiatan yang sangat berharga, sebagai living culture. Bahkan yang sudah
mulai punah, hidup lagi.
Jadi sebetulnya bapak tidak mempertahankan monument tapi living
culture-nya?
Iya. Buat saya, itu adalah living museum.
Setelah rumah itu selesai, bu Tirto tambah lagi satu. Namun, rumah mereka
masih empat karena yang lama dibongkar lagi dan membangun lebih cepat. Saat
pembangunan rumah kedua, saya mengirim dua mahasiswa dari UI dan UNS untuk
merekam prosesnya dari awal sampai selesai. Selama satu bulan lamanya. Tanpa
pernah pulang. Data itu menjadi buku Pesan dari Wae Rebo yang menghasilkan tiga
rumah lainnya. Lengkaplah rumah Wae Rebo menjadi tujuh.
Selanjutnya, kami kirim lebih banyak mahasiswa. Mereka mendokumentasikan
melalui tulisan, gambar digital, foto, dan video. Data-data ini akan merubah
pendidikan arsitektur di Indonesia, karena untuk pertama kalinya kita punya
bahan arsitektur nusantara. Prof Josef Prijotomo bahkan berani menulis,
“Kebangkitan Kembali Arsitektur Nusantara”.
Wae Rebo menjadi bahan kampanye saya ke perguruan tinggi dan pemerintah.
Depdikbud tersadar bahwa saya mengurusi living culture, sementara mereka
mengurusi dead monument. Seharusnya kita menyelamatkan living
culture, bukan dead monument. Dengan membuat
museum, jangan-jangan budaya malah kita matikan supaya bisa masuk museum.
Mending kita selamatkan desa-desa adat yang terancam punah. Ide ini didengar
wamen, Ibu Wiendu Nuryanti, dan kami ditawarkan program rumah budaya, yang diadopsi
dari RA.
Program itu saya tolak, karena mindset berpikirnya proyek. Masa saya suruh
jadi kontraktor. Jangan pakai metode proyek, jangan pakai tender. Ini
masyarakat, kita harus bekerja bersama-sama masyarakat. Kalau dijadikan proyek,
mereka akan melakukan penolakan, dan akhirnya bukan milik mereka lagi.
Hal ini menyadarkan Kemen PU, program mereka dalam penyelamatan rumah adat
menghadapi banyak kegagalan. Rumah adatnya diganti semen, dicor, dan
sebagainya. Ada satu rumah yang berhasil dibangun oleh kontraktor, tapi
masyarakat engga mau pakai. Tujuannya sudah benar tapi resepnya salah.
Uang segitu banyak akhirnya engga kepakai, seperti program bagi-bagi kulkas
untuk rumah adat Sasak, Lombok, yang dilakukan Depdikbud . Masak rumah adat ada
kulkasnya? Itu kan konyol! Itu uang hangus, karena engga ada yang jalan.
Itu kan sebetulnya juga bisa memusnahkan budaya yang ada?
Iya, itu kan penghancuran sistematis. Saya katakan, sebaiknya sistemnya
berupa bansos, nilainya terbatas 500 juta. Itu sudah cukup! Dan untuk menerima
dana bansos, masyarakat harus membuat sebuah lembaga. Memang agak rumit, tapi
programnya jalan. Pemerintah membangun 2 rumah lainnya yang masih bagus, rumah
yang utama dan terakhir, jadi semuanya benar-benar baru. Mereka juga membangun
di Sumba. Kemdikbud sekarang bangga dan mereka mengadopsi resep RA.
Yang paling penting buat saya dengan program RA ini, kita berhasil merubah
mindset dunia pendidikan. Kalau merubah jalur birokrasi, sampai kapanpun tidak
bisa. Mindset bahwa arsitektur Indonesia ini harus mengacu kepada arsitektur
nusantara. Seluruh dunia sedang mencari green building, arsitek
nusantara jelas memenuhi green building. Ada gempa dimana-mana,
arsitektur nusantara tetap survive. Makanya kita harus mengkinikan
arsitektur nusantara.
Apa proses pengkinian arsitektur nusantara itu saat ini sudah berjalan?
Sudah, justru melalui perguruan tinggi. Permasalahannya adalah, selama masa
kuliah hingga kini, kita tidak pernah mendapatkan pendidikan arsitektur
nusantara. Buku-buku tentang arsitektur dan tokoh luar negeri hafal, tapi buku
tentang arsitektur nusantara engga ada.
Dari sini, mahasiswa belajar banyak dan makin banyak yang ingin ikut.
Program kami di Sumpur, Sumatera Barat, malah yang bergerak satu universitas,
yaitu Universitas Bung Hatta. Inilah dunia akademis kita yang baru, dan ini
menjadi tugas teman-teman IAI daerah. Jadi tidak usah repot-repot,
selamatkanlah semua aset budaya daerah itu.
Kita akan bikin buku yang akan menjadi pembelajaran. Buku itu akhirnya
menjadi hak cipta kita semua. Jadi kalau ada yang minta data ke saya, saya
kasih. Mari kita menuju arsitektur Indonesia dengan mindset baru.
Jadi kesimpulan dari saya adalah arsitektur nusantara penting buat
Indonesia, dan penting juga buat dunia. Sudah saatnya arsitektur nusantara
menginspirasi dunia. Permasalahannya, siapa duluan yang mendapat ilmu itu?
Kalau kita engga duluan, arsitek luar negeri yang bisa duluan menemukan
formulanya.
Apakah pengkiniannya juga sudah terformalisasi ke dalam institusi
pendidikan?
Pasti. Sekarang ini ada sayembara arsitektur nusantara yang disponsori oleh
Propan, dan sebagian dari perguruan tinggi sudah menjadikan sebagai bagian dari
studio atau ujian akhir. Jurinya pak Endy Subijono, Popo Danes, Prof. Josef
Prijotomo.
UNESCO juga pertama kalinya memberi penghargaan kepada bangunan seperti Wae
Rebo. Selama ini mereka condong memberikan penghargaan kepada bangunan-bangunan
yang lebih tektonik, dari batu atau bata. Mereka bilang ada dua poin yang
membuatnya menang. Pertama yang melakukan adalah masyarakatnya sendiri dan
kedua, terjadi proses pembelajaran kepada masyarakat adat sekaligus kepada
dunia akademis.
Dari sini kita mulai menerima banyak panggilan. Saya dipanggil ke
Australia, Kroasia untuk bicara mengenai Wae Rebo. Wae Rebo akhirnya juga masuk
shortlist Aga Khan. Itu publikasi yang luar biasa, alhasil tahun lalu
jumlah turis meningkat ke Waerebo hingga 4 kali lipat, baik turis asing maupun
lokal.
Jadi, walau ada DNA yang hilang, yang baru yang bisa kita tambahkan ke
dalam masyarakat. DNA yang baru itu kita berikan pembelajaran seperti
pariwisata dan bahasa Inggris. Saya sampaikan agar mereka membuka diri untuk eco-tourism.
Seperti program homestay untuk mendapatkan income.
Namun, kita juga harus waspada, apakah dengan banyaknya turis ini nantinya
akan merubah. Mereka punya cara sendiri untuk menyortir, saya usulkan kalau
perlu dimahalin! Jadi turis yang masuk juga bukan sembarangan, seperti di Nepal
dan Bhutan. Turis yang kasar dan kelakuan yang engga terpuji tidak diterima.
Tapi akhirnya menurut bapak apakah punahnya itu juga karena pendidikan
arsitektur modern?
Secara tidak langsung, kitalah pembunuhnya, melalui pendidikan arsitektur
modern. Kita diajarkan yang modern lah masa depan, arsitektur tradisional
adalah masa lampau. Kita dibingungkan dengan masa depan yang bukan dari akar
kita, tapi dari revolusi industri Eropa. Kita disuruh menganggap tradisi adalah
bagian dari masa lampau.
Add caption |
Kemudian apa langkah kedepan dan mimpi besar dari RA?
RA bekerjasama dengan Propan mengadakan sayembara untuk perguruan tinggi,
berkala setahun sekali. Sayembara arsitektur belum pernah dilakukan secara
masif dalam bentuk roadshow ke perguruan tinggi. Ada 15 lebih perguruan
tinggi yang kami datangi. Brief-nya adalah merancang rumah budaya dengan
mengkinikan arsitektur nusantara di daerah masing-masing. Terbuka untuk
mahasiswa dan fresh graduate yang maksimal 2 tahun lulus.
Sayembara berikutnya adalah mendata rumah tradisional. Jadi yang dipilih
adalah siapa yang bisa mendata selengkap mungkin dari Rumah Adat di daerah
masing-masing. Misalnya sudah kejadian, kita akan punya data untuk dibagi.
Perguruan tinggi akhirnya punya PR yang luar biasa untuk menggali budaya kita sendiri.
Bahkan, saya terobsesi untuk menemukan DNA bangunan yang sudah punah.
Misi saya, saya berharap tahun ini bisa membuat pameran bersama
Tropeninstituut (Koninklijk Instituut voor de Tropen). Saya akan
kasih semua bahan-bahan saya dari RA dengan kompensasi bahan-bahan sejarah dari
mereka. Data-data antropologis kita itu sangat lengkap di Tropen Instituut dan
KILTV.
Kami tidak hanya mengurus data di tingkat nasional, tetapi juga
internasional. Bahkan kerjasama ini juga akan sampai ke Malaysia. Saya pernah
presentasi di Australia, bersama arsitek restorasi Asia. Pada saat arsitek
Malaysia melihat waerebo, mereka kaget, “Kami baru sadar. Ternyata selama ini
kami merestorasi bangunan peninggalan Inggris! Kami ingin diajarin!”
Ada rumah Dayak di desa adat Dayak Bidayuh, Kalimantan, yang bentuknya
bulat yang biasanya mendampingi rumah tengkoraknya. Suku dayak ini ada di
Indonesia dan juga Malaysia. Kami pelajari dari Rumah Dayak yang ada di
Malaysia kemudian diaplikasikan lagi ke Dayak yang di Indonesia. Donaturnya
saya yang carikan, tapi datanya dari mereka. Mereka setuju, dan lokasi akhirnya
di Indonesia. Datanya nanti buat Indonesia dan Malaysia.
Apa juga ada mimpi untuk membawa arsitektur tradisional Indonesia ke ranah
internasional ?
Jelas, mungkin itu bukan tugas saya lagi, tetapi arsitek-arsitek yang akan
datang. Kami membuka jalan, dan itu sudah cukup. Tidak usah mengurusi birokrasi
yang begitu rumit, cukup dengan mengubah mindset. Jadi kalau kita mau
bikin perubahan secara cepat dan masif, itu harus dari mindset. Percuma
berbelit birokrasi, kita kecapekan sendiri.
Akhirnya, bagaimana kesan mahasiswa yang menginap 2-3 bulan di lapangan
itu?
Kamu bisa tanya ke mahasiswa tersebut. Mereka pernah menjawab, kami dapat
harta karun, Pak! . Beberapa bilang, “ini seperti sekolah kami.”
Program itu berhasil buat saya, karena saya berhasil mengubah mindset
dan kecintaan mereka, dan menjadi militan. Mereka selalu menceritakan ini ke
teman, dosennya, mereka jadi dikenal dan ketua jurusannya minta lagi
dikirimkan.
Kajur ITS sampai bilang, “saya senang sekali bapak mengirimkan mahasiswa
kami ke Sumba. Setelah pulang dia berubah”
“Dia lebih percaya diri”
Jadi pada waktu mahasiswa dia masih bingung, sekarang dia sudah mengerti
kenapa dia menjadi arsitek.
Setiap kali saya ke kampus, mereka selalu tanya, “Kapan kita dikirim?”
Seperti perang, “kita rebut merah putih!” Hahaha. Darah muda dan kebangsaan
mereka hidup lagi.
Ini hal yang patut kami syukuri, karena engga mengira dampaknya sampai
kemana-mana. Dan ini bergulir terus, dan tetap menginspirasi. Bahkan Eko
Alvares, yang juga dosen di Univ Bung Hatta bilang, “Yor, aku akan melakukan
apa yang kamu lakukan di Waerebo, membantu rumah gadang dibangun.” Dia sudah
ada pasukan mahasiswanya sendiri.
Sekarang, penghuni desa adat juga merasa bangga, karena desa-desa adatnya
mendapat perhatian dan mereka dalam posisi memberi. Sebuah kebanggaan untuk
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar